Nenek Luhu

 

NENE LUHU

                Pada zaman dahulu, terdapat sebuah negeri di tanah Seram bernama negeri Luhu. Negeri Luhu merupakan negeri yang kaya akan hasil cengkehnya. Negeri kecil tersebut diperintah oleh seorang raja yang bernama Kimalaha. Kimalaha ini memiliki seorang permaisuri bernama Puar Bulan. Kimalaha juga memiliki tiga orang anak, dua orang putera bernama Sabadin Luhu dan Kasim Luhu serta seorang puteri bernama  Ta Ina Luhu.

            Suatu ketika, kekayaan cengkeh yang dimiliki negeri Luhu di pulau Seram sampai ke telinga orang-orang Belanda yang berkedudukan di Ambon. Mereka berniat ingin menguasai negeri Luhu dan mengambil serta menebang pohon-pohon cengkeh di Luhu. Belanda pun melancarkan serangan ke negeri Luhu apalagi setelah mengetahui adanya putera-putera bangsawan Ternate yang berusaha melakukan pemberontakan terhadap kuasa Belanda di Ternate. Raja Kimalaha yang bersekutu dengan para bangsawan Ternate tentu tidak mau tunduk pada Belanda hingga terjadi perang besar. Dengan perlengkapan seadanya, raja Kimalah berjuang bersama rakyatnya dalam uatu pertempuran sengit di semenanjung Huamual yang dinamakan perang Pongi atau lebih dikenal dengan nama “Perang Huwamoal”.

            Dalam pertempuran tersebut, raja Kimalaha dan rakyatnya dikalahkan dan Belanda berhasil menguasai negeri Luhu. Semua keluarga kerajaan Luhu tewas, satu-satunya yang selamat adalah puteri raja, Ta Ina Luhu. Namun, Ta Ina Luhu ditangkap dan menjadi tawanan Belanda di benteng Niuew Victoria. Ia kemudian dipaksa menjadi isteri panglima Belanda namun Ta Ina Luhu menolak hingga ia pun diperkosa. Puteri Ta Ina Luhu tidak bisa melakukan apa-apa, tapi bukan berarti sang puteri pun ingin terus berlama-lama. Puteri Ta Ina Luhu selalu memikirkan, bagaimana cara agar bisa lolos dan melarikan diri, menjauh dari kota Ambon.

            Berkat doanya kepada sang Ilahi, dia berhasil mengelabui para tentara Belanda dan melarikan diri keluar dari Ambon. Suatu hari ia melewati sebuah negeri bernama Soya, di negeri itu ia disambut dengan sangat ramah oleh keluarga raja Soya. Bahkan , ia dianggap sebagai saudari keluarga istana kerajaan Soya. Sang puteri diberikan kamar dan tempat tidur yang bagus oleh raja Soya. Melihat hal demikian, puteri Ta Ina Luhu ingat kala dia masih menjadi seorang puteri di istana. Puteri Ta Ina Luhu kemudian meneteskan air mata  mengingat orang tuanya dahulu.

            “Bapa... Mama... Sabadin dan Kasim, beta ada rindu lai... Beta ada rindu sekali. Beta cuman bisa bado’a mudah-mudahan Bapa, Mama deng beta pung ade-ade ada tenang di surga lai,”

            Setelah beberapa bulan tinggal di istana kerajaan Soya, orang-orang mulai tahu kalau Ta Ina Luhu sedang hamil. Karena demikian, puteri Ta Ina Luhu semakin keberatan tinggal di istana karena tentu saja akan merepotkan keluarga kerajaan Soya. Akhirnya, dengan pemikiran yang matang, ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan istana tersebut. Ia memutuskan untuk pergi dari istana secara diam-diam. Dalam hatinya ia berkata : “Beta datang bawa aib pada nama  keluarga raja Soya. Bagaikan basapu arang di dong pe muka. Dan ini seng boleh jadi. Beta musti pigi dari dong pe rumah,”.

            Sebelum Ta Ina Luhu pergi, ia berlutut diatas tempat tidurnya dan berdoa: “Tuhan, ampuni hambaMu! Bila Tuhan mengasihi hamba, bebaskanlah hamba dari penderitaan ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menanggungnya terlalu lama. Ambilah jiwa hamba Tuhan dan campakanlah tubuh hamba untuk menjadi binatang buas. Sebab tubuh ini tak mampu lagi dipakai untuk memuja Engkau di dunia ini. Tuhan, kasihanilah hamba dan dengarkanlah doa hamba. Amin.”

            Setelah berdoa, Ta Ina Luhu membuka pintu dan keluar ke halaman. Rembulan di malam itu sangat terang. Langit bersih dan udara cukup dingin di negeri Soya. Ta Ina Luhu mengambil syal dan topi yang biasa ia kenakan. Ia berjalan sepuluh meter dari rumah dan menoleh. Dengan mulut komat-kamit ia pamit : “Oh, rumahku dan keluargaku, relakan beta pergi. Jang cari beta lai. Aib ini biar beta tanggung akang sandiri jua”. Di halaman ada seekor kuda yang sedang merumput. Kuda itu milik raja Soya yang sering beliau tunggangi jika bepergian. Perlahan-lahan Ta Ina Luhu mendekati kuda itu, dipegang tali kekangnya, dirayu-rayu kuda itu dengan tangan kanannya, dan kemudian ia melompat ke atas punggung kuda itu. Kuda tersebut mengikuti semua kehendak Ta Ina Luhu menuruni dan menaiki gunung, melewati hutan, siang dan malam melewati jalan yang tak pernah ia lewati, hingga matahari terbit Ta Ina Luhu telah berada di puncak gunung. Dari puncak gunung itu, terlihat jelas teluk Ambon. Ia turun dari punggung kuda dan bernaung di bawah sebatang pohon yang tidak seberapa besarnya di puncak gunung itu. Saat Ta Ina Luhu sedang beristirahat, ia merasa lapar. Terlihat pohon jambu biji yang tak jauh darinya. Ia berjalan mendekati pohon itu dan memetik beberapa buah jambu biji yang sudah matang untuk dimakan. Setelah memetik beberapa buah, ia berjalan kembali ke tempat peristirahatannya tadi.

            Di negeri Soya terjadi kepanikan karena Ta Ina Luhu telah menghilang. Raja Soya membunyikan tifa sebanyak empat kali untuk memanggil marinyo yaitu petugas negeri dan enam kali untuk memanggil Kepala Soa seorang staf pemerintahan. Diperintahkan mereka oleh raja Soya untuk menggerakan semua orang laki-laki berumur enambelas tahun sampai empat puluh tahun untuk mencari Ta Ina Luhu dan membawanya pulang dalam keadaan hidup. Karena Ta Ina Luhu pergi menggunakan kuda, mereka berjalan mengikuti jejak telapak kaki kuda tersebut. Ta Ina Luhu tidak beranjak dari tempat peristirahatannya di puncak gunung itu. Kemudian ia mendengar suara orang memanggil namanya dari kejauhan maka ia segera pergi dari tempat itu dan berlari turun ke pantai Amahusu. Sesampainya mereka di tempat peristirahatan Ta Ina Luhu, mereka hanya menemukan sisa-sisa jambu biji yang dimakan olehnya. Untuk mengenang tempat peristirahatan Ta Ina Luhu, tempat itu diberi nama “Gunung Nona” sampai saat ini. Setibanya Ta Ina Luhu di tepi pantai Amahusu, angin bertiup sangat kencang sehingga menerbangkan topi yang dikenakan Ta Ina Luhu dan jatuh di bibir pantai. Ketika ia hendak memungut topinya yang jatuh, topi itu berubah menjadi batu. Batu yang menyerupai topi itu diberi nama “Batu Capeo” yang berasal dari bahasa daerah Maluku, Capeo yang berarti topi. Dari Batu Capeo, ia mengendarai kudanya perlahan-lahan masuk ke kota Ambon. Karena kelelahan, ia berhenti disalah satu tempat yang kebetulan memiliki mata air. Kemudian tempat tersebut bernama “Air Puteri” sampai saat ini. Setelah dari Air Puteri ia mencoba kembali ke gunung tempat ia beristirahat sebelumnya, tetapi ia bertemu dengan segerombolan pemuda dari negeri Soya yang sedang mencarinya. Ta Ina Luhu tidak bisa melarikan diri lagi. Ia pun pasrah dan berdoa : “Tuhan yang hamba kasihi, jangan mempermalukan hamba di tengah mereka yang mencari hamba ini.” Dan ketika seorang dari mereka akan memegang tangan Ta Ina Luhu, ia menghilang begitu saja. Ia raib untuk selama-lamanya. Setelah Ta Ina Luhu mengilang, kuda yang ia tunggangi melarikan diri. Beberapa hari kemudian, rombongan pemuda negeri Soya menemukan kuda tersebut sudah menjadi bangkai. Kini tempat itu dinamakan “Kuda Mati” sampai sekarang.

            Kehilangan Ta Ina Luhu secara misterius menjadi cerita legenda di kota Ambon. Kata orang Ambon : “Katong bisa baku dapa antua pas ujang panas. Antua dapa lia macam nene-nene yang bajalang pincang barang antua kaki sabalah manusia sabalah kuda. Kalo antua baku dapa orang di jalang pas ujang panas, nanti antua ambe dong. Apalagi ana-ana kacil. Antua lebe suka lai”

 

Keterangan dan Kesaksian dari seorang Narasumber (nenek saya sendiri) :

Siti Khadijah Mabang di Makassar
(Minggu, 03 Nopember 2019 pukul 17.15)
          “Waktu itu Mam baru pindah ke Ambon. Mam kan tidak tahu itu Ta Ina Luhu, Mam cuma tahu, Mam liat itu ada ana-ana main di luar padahal itu hari sudah mau malam. Jadi Mam tegur ke bawah, bilang, ‘Eh pulang, so mau maghrib nanti kamu semua punya orang tua cari,’ Eh, begitu Mam bilang dorang sudah tidak ada, hilang tidak tahu ke mana?”
          “Ta Ina Luhu itu kita tidak bisa bilang mitos karena dia itu, ada. Memang ada itu Ta Ina Luhu kadang dia suka jadi ana-ana, pernah Mam ada dapa di kamar mandi, Mam kage itu lia banya ana-ana Mam bilang, ‘Ih banya nya ini ana-ana ii, tidak tahu dari mana,’ Jadi pernah itu ada orang tanya, ‘Kenapa?’ Saya jawab, ‘Itu selalu saya ada dapa ana-anak, tiga kali saya lia... Pas ujang panas, matahari terik. Yang terakhir itu saya dapa dorang pas sudah mau malam, pas itu bulan terang di langit
          “Astaga, jang dapa togor, ale seng tahu kah? Ta Ina Luhu itu, jang ale togor lai”
          “Ta Ina Luhu? Apa saya tahu, beta baru datang dari Ternate, beta seng tahu kalo ada itu yang namanya Ta Ina Luhu lai”
          “Ta Ina Luhu itu dia bisa berubah-ubah jadi ana-ana atau jadi orang tua. Kalo dia jadi ana-ana itu, orang bilang ‘Botol Manci’ (tuyul) tapi kalo basar dia macam nene-nene, dia pake baju deng sarung yang dia punya corak ada bagaris-garis hitam kacili. Waktu Soekarno sake (ceritanya pernah berkunjung ke Ambon), tiba-tiba dari arah gunung ada cahaya muncul pas lagi ujang-ujang panas, matahari terik, ujang deras... Ada perempuan dia pake itu baju adatnya dorang sana, deng sarung-sarung yang motifnya ada garis-garis hitam kacil. Dia datang kase sembu Soekarno, langsung sembu. Jadi ada orang tanya dia, ‘Ta Ina Luhu?’. ‘Saya, bapa raja (kepala desa atau camat?),’ dia bilang langsung ilang.
          “Kalo carita rakyat, kita tidak boleh sembarang karena jangan sampe orang dari daerah sana menuntut...”
 
 
Tampak seorang tetua mengenakan pakaian adat Luhu, asal negeri nenek Luhu.


Batu Capeo di pantai Amahusu yang konon merupakan topi nenek Luhu.
 
 
Pantai Amahusu, tempat hilangnya nenek Luhu saat dikejar prajurit negeri Soya.



Pemandangan Ambon dari salah satu sisi di gunung Nona, di Siwang, kec. Nusaniwe. Konon dari puncak gunung Nona ini lah, nenek Luhu datang dalam bentuk cahaya lalu turun dan mengambil siapa saja yang ditemuinya saat hujan panas.
 
 
 
Perempuan-perempuan Soya tengah menari dalam ritual adat cuci negeri (desa).
 
 
Sumber web :  

      Narasumber dan sebagian cerita oleh pihak penulis sendiri ditambah cerita lengkap nenek Luhu oleh labirinsajak.wordpress.com

Komentar

Postingan Populer