Salahakan Majira, Pembangkit Perjuangan Rakyat Seram Bagian Barat

     Setelah Salahakan Luhu di Seram dieksekuasi oleh Sultan Hamzah dengan tuduhan bahwa Salahakan Luhu tidak setia kepada kesultanan maka sultan Hamzah mengangkat Majira. Majira adalah seorang klan Tomagola kelahiran Hoamoal dan mantan Kapita setempat. Pada bulan Agustus 1643, usai eksekusi Luhu dan keluarganya, Majira dan Laksamana Coen, panglima pasukan VOC di Ambon bertolak ke Ternate dengan mnggunakan kapal Frederik Hendrik milik VOC. Majira melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Sultan Hamzah sejak diangkat menjadi Salahakan.
     Pengangkatan Majira telah lama diinginkan VOC, setelah Luhu dipandang sebagai Salahakan yang "nakal". Gubernur Ambon berharap dapat mendiktekan semua kehendaknya karena Majira dipandang sebagai tokoh yang bekerja sama dengan Belanda dan "mudah diperintah". Di akhir bulan Agustus, Majira meninggalkan Ternate menuju Hila, negeri asal Kapita Kakiali, kakak ipar Luhu. Dari Hila, Majira menuju Ambon untuk memperkenalkan diri sebagai Salahakan baru kepada Gubernur Ambon. 
     Laksamana Coen kembali menerima surat rahasia dari Sultan Hamzah yang dibawa oleh Majira. Isinya menyatakan bahwa Kaicil Laksamana dan Himam, seorang Imam dari Kampelo berselisih dengan Leliato dan mulai saling mengancam untuk membunuh. Akibat pertentangan ini, Leliato menghukum beberapa lokal seperti Dermahu, putera Pati Kampelo, seorang khatib bernama Lamoro dan Pati negeri Luhu bernama Pattilika. Orang-orang tersebut adalah pejabat penting kesultanan yang semuanya tewas dieksekusi Leliato pada 7 September 1643. Akibatnya Leliato ditangkap dan diasingkan ke Batavia dan meninggal di atas tiang gantung.
     Empat tahun setelah menjadi Salahakan, Majira melihat bahwa politik monopoli VOC telah membawa rakyat ke taraf kemiskinan yang absolut. Sejak dilarangnya orang Makassar, Jawa dan Melayu masuk berdagang, harga rempah-rempah merosot tajam. Sementara sultan Hamzah sendiri mendukung hak-hak monopoli VOC itu secara teguh. Ini berarti Sultan Hamzah lebih mementingkan kepentingan Belanda daripada rakyatnya sendiri. Bahkan, karena kurang percaya kepada Salahakan yang baru, Hamzah mengalihkan kekuasaannya atas kepulauan Ambon dan Hitu kepada Belanda (VOC) pada 1644 dengan alasan untuk mencegah penyelundupan. Sebagai balas budi, Belanda membayar 73.000 gulden kepada kesultanan Ternate untuk pengalihan tersebut dengan rincian: 58.875 gulden untuk Hamzah pribadi, dan sisanya untuk kas kesultanan. Di samping jumlah uang yang menggiurkan, Hamzah juga menerima hadiah pakaian, gong, beragam ornamen dari emas, sebuah meriam kecil dan beberapa pucuk senjata.
     Pelepasan kekuasaan atas kepulauan Ambon dan Hitu menimbulkan kemarahan klan Tomagola dan petinggi kerajaan lainnya. Mereka memandang kebijakan tersebut sebagai tindakan yang tidak pantas dilakukan Sultan Hamzah. Salahakan Majira juga menentang keputusan itu, karena dengan demikian daerah kewenangannya berkurang. Majira pun mulai memperlihatkan tantangannya kepada Hamzah. Sejumlah perintah sultan yang berhubungan dengan hak monopoli VOC tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.
     Tersiar berita yang sampai kepada Majira bahwa di Ternate sejumlah Hukum dan Bobato kesultanan mulai bertengkar dan dukungan terhadap Sultan Hamzah merosot drastis. Para Bobato yang menentang sultan mendapat dukungan rakyat yang makin meluas, dan unsur yang menentang sultan mulai tampil secara terang-terangan. Suatu pemberontakan terhadap Hamzah yang mulai sakit-sakitan pun berkobar.
     Selama masa pemerintahannya, Hamzah menghabiskan waktu dan energinya untuk mengabdi pada kepentingan VOC. Sementara upayanya membenahi Hoamoal dan Hitu tidak berhasil. Kegagalan mengelola sepenggal daerah itu saja telah menunjukkan betapa ketidakmampuannya. Daerah-daerah seberang lautan lainnya yang juga larut dalam pergolakan--seperti Gorontalo, Sula dan Taliabu serta daerah-daerah di pantai timur Sulawesi--tidak disentuhnya sama sekali.
      Pada bulan Mei 1648, Sultan Hamzah wafat dan meninggalkan warisan warisan politik dan konflik di daerah seberang laut yang akan ditangani penggantinya. Dengan penyerahan kepulauan Ambon dan Hitu kepada Belanda,  Sultan Hamzah menciptakan sebuah preseden buruk bagi daerah yang bila tak mampu diurus akan diserahkan begitu saja kepada Belanda. Hamzah wafat dengan meninggalkan hutang 12.000 ringgit kepada VOC. Ia kemudian digantikan oleh Mandar Syah sebagai sultan Ternate ke-8 (1648-1675).
     Pandangan VOC tentang Salahakan Majira sebagai tokoh yang dapat diperalat dan lemah ternyata keliru. Majira bukan lah tipe orang seperti itu. Pada 1651, Majira mulai mengangkat senjata dan menyerang VOC di Hoamoal. Para pengikutnya menyerbu dan menghancurkan semua benteng VOC yang ada di Maluku Tengah dan hanya menyisakan benteng di Ambon dan Lease (Saparua). De Vlamming yang oleh Belanda diangkat sebagai Panglima Militer untuk Maluku dan Maluku Tengah, mulai bergerak menumpas pemberontakan Majira.
     Niat Majira menentang VOC sebenarnya telah muncul ketika mulai menjabat sebagai Salahakan. Hal ini tercermin dalam sejumlah tindakannya seperti:

  1. Perintah Sultan untuk segera memulangkan orang-orang Ternate di Ambon dan Maluku Tengah selalu ditunda-tunda Majira dengan berbagai alasan. Penundaan ini terkait dengan upayanya untuk membina mereka agar menyertainya dalam pemberontakan yang akan dicetuskannya.
  2. Perintah-perintah sultan Ternate, terutama pada masa sultan Hamzah, yang selalu menguntungkan VOC dan merugikan rakyat, tidak pernah dilaksanakan Majira secara utuh. Bahkan, ada yang sama sekali diabaikan.
     Dalam aksi-aksi penyerbuannya terhadap benteng-benteng VOC, Majira didukung Jan Pais, raja Negeri Hative, Tawari dan Hukunalo. Dengan dukungan para penguasa lokal ini, Majira berhasil menduduki Ambalau, Manipa dan Lasidi. Di tempat-tempat tersebut, Majira menyita seluruh aset VOC.
     Untuk meredam Majira, De Vlamming mengutus Simon Cos, seorang Belanda yang menjadi sahabat Majira, untuk tatap muka dan berunding langsung dengan Majira serta berbicara secara pribadi dengannya di Luhu. Dalam pertemuan itu, Cos minta agar Majira memulihkan kesetiaannya pada kesultanan Ternate, Mandar Syah. Sementara Cos dan Majira berunding, sejumlah 200 tentara VOC mengepung kediaman Majira. Seorang pembantu Letnan, Helwig menerobos masuk dan duduk dekat Majira untuk mengintimidasinya. Salahakan Majira mencabut kerisnya dan berteriak dalam bahasa Ternate: "Hari ini perjalanan tidak dapat diteruskan!" Seruan ini oleh Belanda dianggap sebagai, "Sejak hari ini perlawanan terhadap VOC telah berakhir," Tetapi ini adalah siasa Majira karena setelah itu, Majira makin tegar melawan Belanda meski dalam posisi yang tidak menguntungkan.
     Cos berpelukan dengan Majira dan pamit kembali ke Ambon. Pasukan Belanda yang mengepung rumah Majira diperintahkan kembali ke benteng Victoria di Ambon. Pada 10 Maret 1651, Majira mengungsi ke hulu sungai Kabula, kemudian ke Negeri Luki. Pengikut-pengikut setianya masih melanjutkan perlawanan dengan membunuh orang-orang VOC di Loala, Nusatelo, Hatuaha, Asahudi, Buano, Ambalau dan Manipa. Kimalaha Hasi dari Buru bahkan turut bergabung dalam aksi-aksi penyerangan secara sporadis. Pemberontakan Majira makin meluas sementara Majira sendiri telah dipecat oleh Sultan Mandar Syah.
     Pada 4 Mei 1651, Tamim Amsara--paman Sultan Mandar Syah dari pihak ibunya--tiba di Ambon sebagai utusan resmi sultan. Tugasnya adalah mengambil alih wewenang dan tugas Salahakan Majira. Sementara Majira sendiri telah mengundurkan diri bersama pasukannya ke selatan pulau Seram dan melanjutkan perlawanan. Upaya kompeni menguber Majira terus berlangsung. Negeri Luki, yang dipertahankan dengan kuat oleh pasukan Majira diserang dan akhirnya jatuh ke tangan VOC. Tetapi Majira, tidak ditemukan di situ. Ia telah menyingkir ke pegunungan Hulong dan Erang.
     Setelah Negeri Luki ditaklukan, pasukan Belanda menyerang Hoamoal, Kelang dan Manipa. Pasukan Majira berlindung di gunung-gunung sekitar Hitu Besar dan membangun pertahanan di sana. Setelah Hoamoal, Kelang dan Manipa jatuh, posisi Majira mulai lemah terutama karena banyak personilnya yang tewas dan tertangkap. Majira dengan cepat bertolak ke Makassar mencari bantuan, terutama kepada para saudagar Makassar yang selama ini telah dibantunya. Majira berhasil bertemu dengan Raja Makassar tetapi Raja Makassar menasehatinya agar tidak berupaya merebut kembali Hoamoal dan Hitu karena Belanda telah memperkuat pertahanannya di sana.
     Sementara itu Belanda menuduh Mandar Syah tidak melakukan upaya apa pun untuk menghentikan pemberontakan Majira sehingga Belanda memutuskan menyelesaikannya sendiri. Pada 1656, ketika Simon Cos diangkat menjadi Gubernur dengan tujuan mengakhiri pemberontakan Majira, ia mengundang raja Makassar--yang selama ini membantu Majira--untuk berunding. Dalam perundingannya itu, disepakati:

  1. Semua tahanan orang Makassar akan dibebaskan dalam waktu singkat. Bantuan Makassar terhadap Majira dihentikan.
  2. Orang Ambon yang menjadi pengikut Majira akan diizinkan pergi ke mana saja.
  3. Setelah dibebaskan, orang-orang Makassar meninggalkan Ambon dan pindah ke daerah lain di luar Maluku.
  4. Orang-orang Makassar tidak dibolehkan lagi membeli rempah-rempah dan dilarang mengirimkan perahu mereka beroperasi di wilayah Maluku.
     Pada tahun ini juga (1656), Majira bersama saudara tirinya, Labiji ditangkap di Makassar dan diajukan ke pengadilan. Pada akhir tahun itu, keduanya diputuskan bersalah karena memberontak dan dijatuhi hukuman mati. Ketika dijenguk Kaicil Kalamata--keponakan sultan Mandar Syah--pada 17 Januari 1657, Majira saat itu tengah menunggu eksekusi di penjara. Majira adalah Salahakan kedua dari klan Tomagola yang memberontak terhadap Belanda di Maluku Tengah setelah Salahakan Luhu.


Sumber Pustaka:
Amal, M. Adnan. Kepulauan Rempah-rempah; Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 Ternate, KPG, 2006

Komentar

Postingan Populer