Cina Dalam I Lagaligo : Asal Usul Gong Nekara di Pulau Selayar

Mengenai Sawerigading sendiri, pasti telah terpikir di antara kalian siapa itu Sawerigading. Sawerigading adalah tokoh utama dalam cerita epos I Lagaligo, yang mana kisah tersebut merupakan karya sastra Bugis terpanjang setelah Illyad-Odissey dari Yunani; dan Mahabharata dari India. Mengenai kisah Sawerigading sendiri bahkan dikenal hingga hampir ke seluruh daratan Sulawesi terutama di Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Kisah Sawerigading sering dikaitkan dengan asal usul terbentuknya negeri mereka. Ini menunjukkan bahwa Kerajaan Luwu saat itu adalah kerajaan yang paling tertua di Sulawesi bahkan bisa jadi bersamaan dengan zaman kerajaan Majapahit sementara Majapahit sendiri menyebutkan nama Luwu dalam kitab Nagarakertagama.

Dalam epos I Lagaligo dikatakan bahwa Sawerigading berlayar hingga ke negeri Cina. Cina yang mana kah yang dimaksud? Apa Cina Tiongkok yang sekarang dikenal dengan nama RRC atau Cina lain? Mari kita simak ulasannya berikut ini.

Dikatakan dalam sebuah sumber, bahwa para penulis dan peneliti sejarah lokal mayoritas sepakat untuk meletakkan Ale Cina pada sebuah wilayah di sekitar semenanjung Sulawesi Selatan. Ale Cina terbagi dua, yang satunya berada di sebelah timur Teluk Bone dan satunya lagi di sebelah barat Lembah Cenrana. Istana La Tanete tempat We Cudai' bersemayam terletak di situs bukit Allangkanange ri La Tanete (Pammana, Wajo bagian selatan). Dataran rendah yang subur tersebut diyakini sebagai tanah air suku Bugis, yang namanya diambil dari Opunna Cina (ayah We Cudai') yaitu La Sattumpugi'. Penemuan­-penemuan benda­-benda bersejarah mengindikasikan bahwa wilayah tersebut mulai dihuni dan berperadaban sekitar tahun 1200­-1400 Masehi. Setelah itu, tingkat kepentingan wilayah ini mulai menurun dan akhirnya ditinggalkan sama sekali pada abad ke­-17.

Namun, apa kah sungguh yang dinamakan Cina adalah daerah tersebut? Lalu bagaimana dengan peninggalan-peninggalan berupa piring Cina hingga Nekara? Apa itu Nekara? Nekara adalah sebuah gong perunggu buatan kebudayaan Dong Son yang terdapat di delta sungai Merah, Vietnam. Peninggalan zaman kebudayaan Dong Son ini hanya ada dua di Asia Tenggara, satunya di Vietnam dan satunya di Selayar.

Bagaimana sejarahnya hingga Gong Nekara bisa ada di Selayar? Begini ceritanya, Sawerigading dengan We Cudai' memiliki tiga orang anak dari hasil pernikahannya yaitu La Galigo, We Tenri Dio dan We Tenri Balobo. Sawerigading bersama isteri dan anak-anaknya tinggal di Cina. Suatu ketika, We Tenri Dio dan We Tenri Balobo mengalami sakit yang tidak lazim. Semua tabib dikerahkan namun tiada hasil. Sawerigading pun teringat akan Gong Nekara yang telah dibawanya ke Luwu dari suatu daerah (Bangkok). Gong Nekara dianggap keramat dan dapat menyembuhkan penyakit.

Sebelum mendatangkan Gong Nekara tersebut, La Galigo diutus ke Ussu (Luwu) untuk membicarakan hal tersebut pada kakeknya. Hasil pertemuan tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan ramalan bahwa penyebab penyakit kedua putri tersebut adalah Gong Nekara. Atas kesepakatan kakek dan cucu tersebut, maka dua benda pusaka nekara tersebut dibawa ke negeri Cina. Setibanya di pelabuhan, kedua gong ditabuh dan suaranya bergema hingga ke seluruh penjuru Cina termasuk kedua puteri yang tengah sakit tersebut. Saat suara dahsyat tersebut terdengar, maka tiba-tiba kedua puteri Sawerigading tersebut merasa ada sesuatu yang menjalar di sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan kedua puteri tersebut sembuh dari sakitnya.

We Tenri Dio membawa kembali benda pusaka tersebut ke Luwu namun dalam perjalanannya, kapal yang ditumpangi We Tenri Dio terdampar di sebuah pulau asing. We Tenri Dio memasuki dan ingin mengenal lebih dalam mengenai pulau tersebut dan menemukan sebuah pohon yang aneh dan bentuknya seperti sapu. Pohon itu dinamakan pohon Salayar dan menjadi cikal bakal nama pulau tersebut. We Tenri Dio terdampar di Selayar  namun kapal ayahnya yaitu Sawerigading karam dan kerangkanya terbagi-bagi. Bangkai kapalnya terdampar di desa Ara, dikemudian hari orang Ara menjadi pembuat kapal (Panrita Lopi). Tiang kapalnya terdampar di Bonelohe (Selayar), layarnya di pantai Bira dan sebagiannya di Lemo-lemo.

Kembali ke pokok permasalahan, yaitu mengenai Cina. Dari cerita asal muasal Gong Nekara tersebut, bisa kita prediksi bahwa bisa jadi Cina yang dimaksud kemungkinan bukan lah Tiongkok melainkan Indo-Cina. Orang-orang Indo-Cina memiliki penampilan fisik seperti Cina namun masih ras Melayu. Kemungkinan besar yang dimaksud Cina dalam I Lagaligo adalah daerah sekitaran Champa seperti Vietnam di mana budaya orang-orang dari sana terutama Champa dan Hmong sangat dekat dengan orang-orang Sulawesi. Orang-orang Indo-Cina telah lama bersosialisasi dan saling menjalin hubungan dagang dengan orang-orang di kepulauan Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit, dan bukan hal yang tidak mungkin bila Cina dalam epos I Lagaligo adalah orang-orang dari Indo-Cina tersebut. Dalam hal ini penulis melihat dari sisi peninggalan, musik, dan tarian.

Musik Serunai yang dimainkan oleh orang teluk Champa sangat mirip bunyinya dengan musik Pui-pui orang Sulawesi begitu pula dengan alat musik gesek yang dimainkan, kalau di Makassar dinamakan Keso'-keso'. Mereka juga menggunakan alat musik Gong di mana alat musik tersebut digunakan dalam sebagian tari-tarian adat Sulawesi. Bunyinya mirip dengan gong yang dimainkan dalam tarian adat di Ternate seperti Gala, Lala atau Soya-soya. Pengaruh bunyi gong tersebut juga ada pada musik tradisi Sulawesi Tenggara seperti pada tarian orang Buton dan beberapa tarian Sulawesi Tengah.

Pada ritual budaya agama shaman suku Hmong ada suatu ritual membunyikan sebuah besi-besi yang bunyinya seperti gelang kaki, budaya ini mirip pada budaya tarian Motayok di Bolaang Mongondow di mana tarian Motayok sendiri dilakukan untuk memgobati orang sakit. Selain itu terdapat tarian yang persis sama dengan Gaba-gaba (nama permainan tersebut jika di Maluku) yang juga dimainkan oleh orang Kondosapata di Mamasa.

Mengenai busana, busana mereka sangat sederhana, suku Hmong memakai busana warna hitam dengan sebuah topi yang mirip songkok hitam. Sementara itu, orang Champa mengenakan busana khas mereka sendiri yang mereka bawa sejak keruntuhan kerajaan mereka yang mana jika dilihat sepintas mereka berpakaian seperti Suku-suku di Buton atau seperti suku Sea-sea di Banggai.

Satu lagi tradisi yang mirip dengan tradisi orang Toraja yaitu adu kerbau yang juga dilakukan di Vietnam yang digelar sejak abad ke-18, adu kerbau ini sekaligus sebagai bentuk penyembahan pada dewa air untuk kemakmuran dan kebahagiaan.

Selain negeri Cina sendiri, dalam epos I Lagaligo menyebut daerah-daerah seperti Senrijawa (Sriwijaya), Sunra (Sunda), Gima (Bima), Jawa dan lain-lain. Adanya hubungan dengan Majapahit dan Sriwijaya, apa yang tidak bagi Luwu? Bisa jadi Luwu juga telah banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Indo-Cina seperti Champa dan Dong Son yang berkebudayaan Perunggu dan Logam.

Dalam hal ini penulis hanya bisa mengira dengan info yang menjadi bukti seadanya, sekiranya betul maka penulis akan merasa sangat gembira karena info yang didapatkan bisa jadi tambahan wawasan bagi penulis sendiri dan sekiranya salah, maka penulis memohon maaf.

•  Múa Sạp atau tarian "Kios". Tarian tersebut berasal dari etnis Thai yang juga telah tinggal di Hoa Bính bersama suku Muóng. Tarian Kios ini sangat mirip dengan tarian atau permainan tradisional di Kondosapata, Mamasa. Di Maluku nama tarian ini dikenal sebagai Gaba-gaba.
Sumber: https://www.vietvisiontravel.com/wp-content/uploads/2015/09/ethnic-minorities-in-hoa-binh.jpg

• Pakaian tradisional suku Mon, sekilas mirip dengan pakaian adat di Sulawesi Tenggara, semisal busana untuk tari Linda dari Muna.
sumber: http://xahalinh.hatinh.gov.vn/uploads/23515790_556765411327152_1249442883_n.jpg

•   Pakaian tradisional suku Tay di Ea Kuêh, Distrik Cu M'gar. Suku Tay adalah etnis Thai yang bermukim di Vietnam sebagai etnis minoritas. Pakaian suku Tay sangat mirip dengan pakaian adat suku Seko dan Poso.
Sumber: http://baodaklak.vn/dataimages/201811/original/images2715035_42.jpg

  • Alat musik Kanyi (Champa) dan alat musik Keso'-keso' atau Kere'-kere' Gallang (Makassar). Bahasa populernya dalam bahasa Indonesia adalah Rebab. Persamaan ini bukan hanya dari bentuk, bahkan bunyi dan cara memainkan musiknya serta cara menyanyikan syairnya pun hampir sama.
 Bisa dibuka linknya di sini (https://youtu.be/E4ny3eRn0FQ). Pada gambar tersebut tampak seseorang memainkan alat musik Kanyi dan seolah-olah tengah bercerita tentang sesuatu atau seperti sedang bersyair dalam bahasa Champa.

Coba bandingkan dengan musik Sinrilik yang diiringi alat musik Kacaping atau dalam bahasa Indonesia disebut Kecapi. Untuk ingin tahu bagaimana perbedaan dan persamaannya sekaligus silahkan klik linknya, https://youtu.be/I029DzDJM1A

Masih banyak persamaan-persamaan lainnya, namun cukup untuk sekian saja dahulu. Jika ada salah dalam kata maka mohon untuk dimaafkan, jika ada kekurangan maka dimohon kritik dan saran yang membangun demi artikel blog ini.

Sumber Buku:
3. Ahmadin; Nusa Selayar, Sejarah & Kebudayaan Masyarakat di Kawasan Timur Nusantara 2016, Rayhan Intermedia, Makassar

Penulis ucapkan pula terima kasih pada pihak yang telah menceritakan mengenai asal-usul penamaan pulau Selayar dan sejarah Gong Nekara

Komentar

Postingan Populer